NA RUU tentang Jaminan Benda Bergerak Pemajuan kesejahteraan sebagai tujuan bernegara, sebagaimana dinyatakan dalam alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), diwujudkan dengan pembangunan perekonomian secara berkelanjutan. Konstitusi juga menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Konsekuensi untuk mendukung pembangunan perekonomian ini, Pemerintah Indonesia secara aktif menciptakan iklim usaha yang memudahkan masyarakat dalam memperoleh akses terhadap pinjaman. Kemudahan mengakses jaminan akan membuka keterbatasan permodalan yang selama ini menghambat dan membatasi ruang gerak masyarakat dalam berusaha. Tambahan modal akan semakin menggerakkan kegiatan usaha yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat. Kegiatan perekonomian masyarakat yang bergerak tentunya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga tujuan negara untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dapat terlaksana. Salah satu jenis jaminan yang berlaku di Indonesia adalah jaminan kebendaan. Khusus bagi lembaga jaminan atas benda bergerak, Indonesia memiliki 3 (tiga) instrumen penjaminan yakni gadai, fidusia, dan resi gudang. Ketiga jenis penjaminan dimaksud diatur dalam peraturan yang berbeda dan memiliki pokok pengaturan yang berbeda pula. Secara umum, instrumen pengaturan benda bergerak yang berlaku di Indonesia saat ini dinilai setidaknya memiliki kelemahan dalam dua hal yakni jaminan hak-hak hukum dan informasi kredit. Pada jaminan hak-hak hukum, uraian kelemahan terkait dengan kerangka pengaturan yang belum terintegrasi, pengaturan pemilikan secara tanpa penguasaan (non possesory) yang masih mengatur banyak pembatasan, lingkup benda bergerak yang dapat dijaminkan terbatas dan belum mengakomodir praktik internasional, ketiadaan mekanisme pendaftaran yang memberikan informasi secara utuh mengenai penjaminan yang telah dilakukan bahkan terdapat jenis jaminan yang tidak mewajibkan adanya pendaftaran, kurangnya kepastian hukum dalam pelaksanaan hak kreditur untuk mendapat pembayaran terlebih dahulu ketika debitur wanprestasi di luar prosedur kepailitan dan ketika debitur dilikuidasi, serta pelindungan kreditur melalui lembaga diam otomatis (automatic stay). Adapun terkait informasi kredit, lembaga pendaftaran yang ada di Indonesia dinilai belum mampu memiliki cakupan dan ruang lingkup terhadap seluruh jaminan benda bergerak serta terbatasnya aksesibilitas masyarakat terhadap data tersebut. Simpulan tersebut diambil dari penilaian terhadap ketentuan peraturan jaminan benda bergerak yang menimbulkan beberapa permasalahan bagi masyarakat. Beberapa permasalahan tersebut antara lain:
- Cakupan jenis jaminan benda bergerak
- Pendaftaran
- Penjaminan kembali
Eksekusi Uraian permasalahan tersebut menunjukkan adanya ketimpangan antara aturan yang tersedia dengan kebutuhan hukum masyarakat. Kondisi ini perlu direspon dengan membuat pengaturan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan menyederhanakan pengaturan yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Seperti kita ketahui, jaminan beda bergerak diatur dalam BW (Burgerlijk Wetboek), UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia dan UU Nomor 9 Tahun 2006 tentang Resi Gudang yang secara khusus mengatur mekanisme pemberian jaminan dan berbagai undang-undang sektoral yang di dalamnya memiliki pengaturan terkait penjaminan. Upaya memperjelas dan menyederhanakan pengaturan dalam rangka mengatasi hambatan akan tercapai jika pembaharuan dilakukan dengan membentuk peraturan yang terintegrasi. Mendasarkan pada pertimbangan dimaksud maka pelu dibentuk Undang-Undang tentang Jaminan Benda Bergerak. Sebagai acuan dalam penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Benda Bergerak maka perlu disusun Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Jaminan Benda Bergerak.