Analisis dan Evaluasi Hukum
Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Analisis dan Evaluasi Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017

Januari 6, 2020

Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

Pemilihan umum tahun 2019 yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum merupakan penyelenggaraan pemilihan umum serentak pertama yang menggabungkan pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan umum serentak ini dilatarbelakangi oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 14/PUU-XI/2013. Penyelenggaraan pemilihan umum serentak tahun 2019 secara umum memang dapat dikatakan berlangsung dengan lancar. Setidaknya menurut Ketua KPU RI Arief Budiman, ada tiga poin penting keberhasilan dan kesuksesan pelaksanaan pemilu serentak 2019, yang pertama adalah efisiensi pengadaan logistik mencapai 40,1 %, kedua partispasi masyarakat mencapai 82,15 %, dan yang ketiga jumlah sengketa di MK menurun dari jumlah perkara teregister 260 dikabulkan hanya 12 sengketa[1].

Namun disamping keberhasilan tersebut banyak pula catatan kekurangan terkait penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019 yang perlu dicermati lebih lanjut. Diantaranya berdasarkan data yang dirilis oleh Bawaslu terdapat 16.134 pelanggaran administrasi, 373 pelanggaran kode etik, 582 pelanggaran pidana, dan 1.475 pelanggaran hukum lainnya yang terjadi. Selain itu Kemenkes mendata bahwa jumlah petugas Pemilu yang meninggal tercatat sebanyak 527 jiwa, sementara yang sakit mencapai 11.239 orang[2]. Di samping itu survei mengenai Pemilu 2019 dan Demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik LIPI menjelaskan bahwa dua tujuan dasar Pemilu Serentak 2019 masih belum tercapai, karena hanya 16,9 persen responden mengaku memilih caleg/partai pendukung calon presiden dan wakil presiden pilihannya, dan 74 persen responden survei publik dan 86 survey tokoh merasa disulitkan oleh hal-hal teknis selama Pemilu Serentak 2019. Hasil survey juga menunjukkan bahwa 82 persen responden tokoh menganggap skema Pemilu Serentak harus diubah atau ditinjau kembali[3].

Selanjutnya berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang dilakukan oleh KPU, persentase suara tidak sah pada pemilu serentak tahun 2019 menunjukkan kenaikan jika dibandingkan dengan pemilu 2014. Kenaikan cukup signifikan tingkat suara tidak sah adalah pada hasil pilpres yang mencapai 2,4% atau sejumlah 3.754.095 suara dibanding pada pilpres tahun 2014 yang berjumlah 1.332.934 suara (1,0%)[4]. Sementara untuk pemilu legislatif anggota DPR naik menjadi 11,45% dengan jumlah suara tidak sah sebesar 16.267.725 suara dimana pada pemilu 2014 jumlah suara tidak sah sebesar 14.601.436 suara (10,46%).

Catatan keberhasilan dan kekurangan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 perlu disikapi dengan melakukan evaluasi lebih mendalam terkait penyelenggaraan pemilihan umum serentak tahun 2019. Dalam konteks pembangunan hukum, langkah evaluasi yang dipilih adalah dengan melakukan analisis dan evaluasi hukum terkait pemilihan umum, khususnya terhadap Undang-Undang Pemilu sebagai dasar penyelenggaraan umum tahun 2019.


[1] https://kpu-tulungagungkab.go.id/2019/09/26/tiga-keberhasilan-pemilu-serentak-2019/

[2] Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, https://www.depkes.go.id/pdf.php?id=19051600003, diakses tanggal 20 Januari 2020

[3] Pusat Penelitian Politik LIPI, http://lipi.go.id/berita/Evaluasi-Pemilu-Serentak-dalam-Temuan-Survei-LIPI/21763, diakses tanggal 20 Januari 2020

[4] Santi Covarida, “Invalid Votes dan Legitimasi Pemilu Serentak Tahun 2019”, Jurnal Electoral Research, Komisi Pemilihan Umum, hlm. 3.